[Berani Cerita #25] Menghitung Hari

Tags

, ,

kalender-2013_ungu_1366x768

credit

Sekali lagi, kulingkari sebuah tanggal dengan spidol warna merah pada kalender di dinding. Sudah 29 hari berlalu tanpa kabar berita darinya. Aku masih bertahan untuk percaya bahwa suatu saat dia akan kembali pulang padaku. Aku percaya, meski semua orang meragukannya. Berkata ini itu tentang dia yang tidak akan kembali lagi, aku tidak peduli.

Setiap hari kutonton berita di televisi. Berharap, barangkali ada kabar tentang Dia atapun tentang teman-temannya yang pergi bersamanya. Aku hanya bisa berdoa sepanjang waktu agar Dia dan teman-teman seperjuangannya selalu dalam lindunganNya.

***

Malam pertama, seharusnya menjadi malam yang paling membahagiakan bagi pasangan pengantin di manapun berada. Tak terkecuali aku dan dia. Masih dalam hitungan jam dia meminangku di depan saksi dan penghulu, tapi aku sudah harus menjalani ujian pertamaku sebagai seorang istri.

“Maafkan aku atas permintaanku yang mungkin terlalu berat bagimu, apalagi di saat kita baru saja menikah” kata-katanya yang meski diucapkan dengan lembut, tetap saja membuat nyeri di dadaku.

“Apakah kau harus pergi?” tanyaku sembari menatapnya dengan penuh permohonan, berharap dia berubah pikiran.

“Aku merasa terpanggil, semoga kau mengerti sayangku,” kurasakan kecupan lembutnya di keningku.

“Jadi kapan kau berangkat?” suaraku sudah mulai bergetar, sekuat hati aku menahan butiran bening di ujung mata  agar tak terjatuh, kusandarkan kepalaku di dadanya, mencari kekuatan.

“Kurang lebih seminggu lagi aku berangkat.” Ya Tuhan, baru beberapa jam yang lalu aku dan dia bersatu dalam ikatan yang halal dalam janji atas namaMu, dan kini Engkau menguji keikhlasanku.

***

Hari ke-30, kembali kulingkari kalender di dinding dengan spidol warna merah. Biarlah, meski bapak ibu dan bahkan mertuaku sudah menyerah, tapi aku tetap percaya suamiku akan kembali pulang padaku. Meski aku selalu teringat dengan kata-katanya saat berpamitan dulu, “Jika kamu ikhlaskan aku pergi sekarang, maka ikhlaskan pula jika nanti aku pulang tinggal nama.” Tapi, aku tetap percaya dia akan kembali.

Hari masih pagi, sebelum bersiap berangkat mengajar di Madrasah kusempatkan menonton berita sejenak. Tepat saat itu salah satu stasiun televisi sedang memberitakan kudeta di salah satu negara di Timur Tengah. Kutatap layar 21 inchi itu, siapa tahu ada dia tertangkap kamera. Korban yang berjatuhan semakin bertambah, termasuk para sukarelawan. Kupanjatkan doa kepadaNya, memohon dengan sepenuh jiwa semoga suamiku masih dalam perlindunganNya. Jikapun nanti pulang tinggal nama semoga aku ikhlas menerimanya.

“Tok! Tok! Tok! Assalamu’alaikum” siapa gerangan sepagi ini sudah hendak bertamu, pikirku. Belum sempat aku beranjak dari tempat dudukku di depan televisi, bapak sudah lebih dulu membukakan pintu.

“Istriku, aku pulang” mataku masih saja menatap layar televisi saat sayup kudengar suara suamiku. Mungkin ini halusinasiku belaka, begitu pikirku sampai akhirnya suara itu terdengar lagi. Saat kutolehkan kepalaku, seketika aku terlonjak dan ternganga. Aku masih tak mampu berkata-kata, hanya tangisku yang tak mampu lagi kubendung. Aku memeluknya erat, sampai akhirnya aku tersadar saat dia meringis kesakitan, kaki kirinya kini tidak ada lagi, dan dia hanya bertopang pada penopang kayu. Lukanya pun masih baru dan masih dibebat perban.

Tidak masalah dia pulang tanpa kaki. Bagiku, adalah sebuah keajaiban dia bisa kembali lagi.

banner-BC#25

~488 Kata~

‘Ne..

-menulis spontan jadi sepertinya masih kurang di sana sini :mrgreen:

Menggunting Masa Lalu

Tags

,

Perempuan itu menatap kosong ke luar jendela, mendongakkan kepala bukan untuk bisa memandang kerlip bintang di langit yang memang semarak. Tapi, hanya agar Ia tidak menjatuhkan butiran bening yang mulai mengembun di sudut mata. Ah, bagaimanapun juga Ia tak mampu menahan gravitasi bumi hingga embun di ujung matanya terjatuh juga.

Ia membiarkan saja embun-embun itu berubah menjadi hujan yang mengaliri pipinya yang pucat. Tidak mengusapnya dengan tisyu, tidak juga dengan punggung tangannya. Sepertinya Ia ingin melepaskan segala yang menyesakkan dada dan membiarkannya terbawa bersama air mata. Itu saja.

“Seandainya aku bisa menggunting masa lalu..” gumamnya. Ia sendiri yakin itu mustahil. Masa lalu tetaplah sejarah yang sudah terlewati, tidak mungkin kembali ke lembaran waktu dan mengguntingnya di lembaran yang tak diinginkan. Tiba-tiba seekor kunang-kunang datang menghampiri, sepertinya kunang-kunang itu mendengar apa yang dikatakan perempuan itu.

“Kenapa kau ingin meggunting masa lalu? apa yang kau sesali dari masa lalumu hingga kau ingin membuangnya?” kunang-kunang bertanya, menghampiri dan bertengger di tepi jendela tempat perempuan itu berada.

“Tidak, tidak ada yang aku sesali sebenarnya. Aku hanya, hanya tidak ingin menyakiti dia yang bersamaku kini”

“Kenapa dia merasa tersakiti? apa yang membuatnya tersakiti”

“Sebuah tulisan yang di tulis pada masa aku melewati sejarah di masa lalu. Karena dia tidak menyukainya. Aku sudah berusaha membuang apa yang tidak dia sukai, tapi masih saja ada yang tersisa. Itu pun bukan karena kenangan yang terbawa bersamanya, aku hanya tidak ingin melenyapkan sebuah karya, itu saja. Apakah aku egois?”

“Bisa dimengerti. tapi, apakah dengan menggunting masa lalu bisa menyelesaikan masalah? bukankah dia hanya tidak menginginkan tulisan itu?”

“Kamu benar, tapi jika aku bisa menggunting masa lalu dimana aku menuliskan itu, tulisan itu hanya sebuah tulisan. Begitu maksudku.”

“Ah, aku rasa itu tidak efisien, kalau kau ingin menggunting masa lalu, kau harus kembali ke masa itu dan baru mengguntingnya. Bisa jadi kau justru akan tersesat di dalamnya.”

“Iya, kau benar. Tapi menyakitkan rasanya ketika cinta yang dibangun dengan perjuangan tidak pernah cukup untuk membuatnya percaya.”

“Ketika pikiran dan penilaian sudah terbentuk, merubahnya itu sulit. Terkadang kau harus berani mengorbankan sesuatu hal untuk membuktikan padanya bahwa dia berharga untukmu. Meski kau tidak pernah memintanya untuk melakukan hal yang sama padamu.”

Perempuan itu terdiam, entah merenungi kata-kata kunang-kunang atau ia membenarkannya dalam hati. Ia tampak lelah, matanya sembab meredup tak bercahaya, wajahnya semakin pucat diterpa sinar bulan sabit.

Sedangkan Kunang-kunang sudah berlalu menghampiri kunang-kunang betina yang sudah memanggilnya dengan kerlap kerlip sinar mengajaknya kawin. Kunang-kunang jantan itu menghampiri dengan penuh kerelaan, termasuk rela dimangsa kunang-kunang betina setelah kawin.

Perempuan itu menutup jendela saat kunang-kunang menjauh dan kerlipnya tak tampak lagi dari pandangan. Pipinya sudah kering, tapi sesak itu masih ada.

‘Ne..

[Berani Cerita #22] Anak Tangga Ke Tujuh

Tags

,

Tangga

credit

Aku sedang menikmati suasana malam saat kudengar langkah kaki mendekat. Meski dalam remang lampu yang temaram, tapi wajah mereka masih dapat terlihat dengan jelas. Seorang laki-laki muda dan perempuan paruh baya.

“Ah, aku kangen sekali padamu, hampir saja aku merengkuhmu dalam pelukanku tadi.” Terdengar suara si perempuan berkata dengan nada manja, menggoda.

“Terlebih aku, harus kutahan sekuat tenaga untuk tidak mengecup bibirmu yang selalu tampak mengundang itu.”

“Sekarang kita punya waktu untuk berdua sayang. Yah, meskipun sejenak tapi sementara cukup untuk kita melepaskan rindu, bukan?” Bisa kulihat perempuan itu merangkulkan tangannya ke leher lelaki di hadapannya yang tampaknya lebih muda darinya itu. Terlihat sekali dia mendominasi.

“Semoga saja dia tidak curiga. Ah, malam ini kamu cantik sekali. Sudah kubilang, gaun ini cocok sekali denganmu.” Lelaki muda itu berkata sembari menundukkan kepalanya dan mendekat ke wajah perempuan dengan balutan gaun merah menyala. Gaun itu tampak kontras dengan kulitnya yang putih, tubuhnya yang meski sudah tidak muda lagi masih terlihat sintal.

“Sengaja aku memakai gaun pemberianmu ini. Agar matamu tak berpaling dan hanya melihatku. Bukankah di dalam pesta itu banyak perempuan-perempuan muda dan cantik yang kau undang?”

“Haha, apakah kau cemburu sayang? bagiku mereka tak sebanding denganmu. Aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu sejak pertama kali papa mengenalkan padaku dulu.”

“Aku ingat, di Villa ini juga kan? tapi saat itu pesta ulang tahun papamu. Dan ingatkah kamu? tepat di sini, anak tangga ke tujuh di taman ini aku menciummu pertama kali? Sayangnya, kita tidak punya waktu banyak untuk bertemu karena kamu harus terbang ke Amerika meneruskan kuliahmu.”

“Bagaimana aku bisa lupa? malam itu adalah pengalaman pertama bagiku, kau tahu itu.”

~setiap kubercinta dengan pacar rahasiaku.. aku suka kamu suka,

sudah jangan bilang siapa-siapa..~**

“Ups! telepon dari papamu. Sebentar ya.”

“Halo sayang? Oh, aku sedang mencari udara segar sebentar. Apa? mereka sudah datang? oke, aku segera kembali ke dalam. Iya dong sayang, masa sih aku tega membiarkanmu bertemu relasi sendirian. Tidak usah, tidak perlu menyusul. Sebentar lagi aku kembali kok. Ok, love you too.”

“Mesra sekali. Terkadang aku merasa aneh, cemburu pada dia yang tidak seharusnya menjadi rivalku. Ah, kenapa aku tidak bertemu denganmu lebih dulu?”

“Hei hei, kamu tahu pasti perasaanku padamu. Aku mencintaimu, cukup yakini itu saja. Bukankah kamu sendiri yang berkata sanggup menanggung resikonya karena berhubungan denganku yang juga istri papamu?”

Bulshit! mendengar percakapan mereka sedari tadi membuatku muak. Apakah yang seperti itu yang disebut cinta? Oh Tuhan, betapa dunia sudah dipenuhi manusia-manusia gila rupanya. Tapi apalah aku, yang selamanya hanya akan menjadi saksi bisu.

banner-BC#22

~416 kata~

**lagu dari Ratu dengan judul Jangan Bilang Siapa-siapa.

‘Ne..

Kusuka Diriku

Tags

,

Hal yang aku lakukan saat bangun pagi selain minum air putih adalah bercermin, ini pasti kulakukan. Entah kenapa aku suka sekali bercermin, tapi hal ini selalu membuatku bersyukur masih memiliki tubuh dan wajah yang normal. Bicara soal wajah, ada yang bilang oval, tapi itu karena aku memakai hijab, anehnya kadang juga bisa terlihat bulat, aslinya wajahku ini memiliki garis tegas dengan rahang agak kotak. Karena rahang yang diturunkan oleh mamahku inilah aku pernah dibilang kalau wajahku sudah mirip buku saking seringnya baca buku. Aku tertawa saja menanggapinya. Kenyataannya aku memang gemar membaca buku, sampai-sampai mataku yang bulat meski tidak besar ini perlu tambahan kacamata minus tiga untuk melihat.

Mataku adalah salah satu yang paling kusuka, saat tanpa kacamata tentunya. Mata yang selalu tajam menatap lawan bicara, dengan bulu mata lentik yang lagi-lagi diturunkan dari mamah ini masih kalah lentik dari milik kakak lelakiku. Pernah ada yang menyangka aku memakai maskara, karena bulu mataku yang melengkung sempurna. Dahiku tidak lebar, tidak juga kecil, proporsional kalau kataku. Meski dengan alis yang tipis tapi, tidak terlalu mempengaruhi penampilanku.

Tulang pipiku akan terangkat sempurna saat aku tersenyum, manis sekali. Itu kata mereka yang melihat senyumku, dan aku suka sekali melihat diriku tersenyum memperlihatkan gigiku yang tidak beraturan. Gigiku memang agak berantakan, gigi tengah bagian bawah melengkung ke dalam seperti orang sedang kayang tapi, satu gigi depan bagian kanan agak sedikit maju, meski berantakan saat tersenyum sama sekali tidak mengurangi kadar kemanisan senyumku. Meski mamahku pernah menyarankanku untuk memakai kawat gigi, tapi tidak kuturuti karena aku tidak suka memagari gigiku seperti memagari rumah dengan kawat berduri.

Banyak yang bilang aku termasuk putih, tapi bagiku warnaku seperti sawo muda, tidak coklat ataupun hitam, tidak juga putih bak pualam. Menyenangkannya, kulitku cocok dengan baju warna apa saja.

Bagian dari wajah yang sedikit membuatku malu adalah bagian hidungku yang seperti jambu. Untungnya ada hiasan tahi lalat kecil di tengah tulang hidung yang mampu mempermanis keberadaannya. Untungnya lagi, bibirku tidak tebal, tidak juga terlalu tipis, pas. Jadi aku tidak bermimpi memiliki hidung seperti milik barbie. Wajahku sendiri termasuk golongan normal berminyak, jadi saat ‘si bulan’ bertandang, jerawat pun akan datang. Begitu juga saat ‘bulan’ undur diri, jerawatpun mengikuti. Ibarat kata, jerawat selalu datang dan pergi sesuka hati. Bagiku, satu dua jerawat di wajah tidak membuatku resah. Lega malah, itu tandanya wajahku masih normal.

Begitu juga dengan tubuhku, dengan tinggi badang 158cm dan berat badan sekarang 45kg sudah merupakan porsi yang pas untuk sebuah penampilan. Tidak terlalu kurus, juga tidak terlalu gemuk, nambah dikit boleh tapi turun jangan. Panjang tubuhku dan kakiku juga pas. Hal ini memudahkanku untuk mencari ukuran baju dan celana. Aku berdoa semoga berat badanku tidak turun lagi, karena aku pernah sangat kurus dan terlihat lebih tua. Aku tidak suka mejadi kurus dan rata macam model-model di catwalk itu. Meski banyak perempuan mengidolakan tubuh seperti itu tapi, tidak denganku.

Selain kakiku yang tidak terlalu jenjang, aku juga tidak suka memakai high heel. Kakiku lebih merasa nyaman dengan sepatu flat, untungnya di tempat kerjaku tidak mewajibkanku memakai sepatu dengan hak tinggi. Aku juga lebih senang menggunakan sepatu dibandingkan sandal saat berpergian, jalan kemanapun aku selalu memakai sepatu. Alasan lain aku lebih suka mamakai sepatu karena bisa menyembunyikan tulang kakiku yang memang agak lebar. Begitu juga dengan tulang tanganku, agak sedikit lebih besar dibandingkan pergelangan tanganku yang kecil, aneh menurutku. Tapi jari jemariku yang panjang ini memudahkanku untuk bergerak lincah di atas keyboard. Soal jari-jariku yang panjang ini seorang teman pernah berkata padaku saat aku belajar main gitar, katanya tanganku sudah cocok untuk memainkan gitar karena jari-jariku yang panjang akan dengan mudah menjangkau snar untuk berpindah dari kunci yang satu ke kunci yang lain. Sayangnya, jari-jariku kurang kuat, akhirnya belajar gitarku mentok dan berakhir dengan predikat tidak lulus.

Overall aku suka semua yang ada pada diriku, semua yang Tuhan ciptakan melalui kedua orang tuaku, dan saat aku bercermin aku akan berkata pada diriku sambil tersenyum bahwa, aku cantik.

‘Ne..

-tulisan ini untuk menjawab #tantangannulis @JiaEffendie 🙂

[Berani Cerita #21] Semanis Gendhis

Tags

, , , ,

klik gambarnya untuk melihat sumber gambar

Sebagai seorang Teller di sebuah Bank, tentunya aku harus selalu pasang senyum manis dan ramah. Meski sedang puasa dan lelah, tidak ada kata cemberut dan irit omong di depan nasabah. Aku sangat menikmati pekerjaanku ini, bisa bertemu dengan banyak orang dengan karakter yang beragam. Ada yang murah senyum dan tak jarang pula yang setiap kali datang tidak pernah tersenyum. Tapi bukan Gendhis namanya kalau nggak bisa bikin orang tersenyum manis. Mungkin begitu pula doa orang tuaku saat memberiku nama Gendhis, tanpa embel-embel apapun.

“Biar orang-orang selalu ingin tersenyum kalau ketemu kamu, bukahkan senyum itu ibadah? lebih bagus lagi kalau bisa membuat mereka tersenyum, ya kan?” begitu alasan bapak suatu hari saat aku protes kok namaku Gendhis, bukan Cindy, Lusi atau Maya, biar agak keren dikit gitu. Tapi demi mendengar jawaban bapak yang filosofis, aku pun tersenyum. Benar juga kata bapak, meski sederhana tapi kata-katanya mengandung kebenaran.

“Mbak Gendhis!” kucari arah suaranya dan ternyata suara itu datang dari sebuah mobil pick up putih. Aku melongok ke dalam, aku mengenali wajahnya. Salah satu nasabah prioritas.

“Pak Sukirman?!” aku menjabat tangannya setelah dia turun dari mobilnya, dan Pak Sukirman tidak sendiri. Bersamanya seorang lelaki muda berambut cepak gaya mohawk, dan cool! Tubuhnya yang proporsional, kulit sawo matang dengan mata yang terlihat cerdas. Ah, semoga detak jantungku tak terdengar jelas.

“Kenalkan Mbak, ini anak saya Bagus, baru saya jemput dari stasiun, dia bekerja di Semarang.” Sepertinya pak Sukirman mendengar isi hatiku, dia menjelaskan identitas lelaki muda yang ternyata anaknya.

Setelah berbasa basi sebentar, kutawari  mereka berdua mampir ke rumahku yang memang dekat dari tempat aku bertemu mereka. Lagi pula, sebentar lagi sudah masuk waktu berbuka puasa dan rumah mereka masih cukup jauh.

***

“Silahkan di santap, ini kolak pisang campur ubi. Gendhis yang membuatnya, dan dijamin enak.”

Agak malu juga dipuji Bapak di depan mereka. Sepeninggal Ibu dua tahun yang lalu, aku memang tinggal berdua dengan Bapak. Sebagai anak tunggal, akulah yang mengambil alih pekerjaan Ibu di rumah, tapi itupun hanya ketika aku libur kerja seperti cuti bersama kali ini, aku bisa memasak untuk makan kami berdua. Kata Bapak, meski jarang masak, tapi masakanku selalu enak. Entah karena memang benar enak atau hanya karena rasa bahagia bisa makan masakan anaknya. Bukankah nikmatnya makanan tidak dilihat dari seberapa mewah menunya, tapi dari rasa syukur dan bahagia bisa makan bersama.

“Terima kasih sekali kolak pisangnya, benar-benar enak. Oya! saya ada sesuatu buat Mbak Gendhis, biar saya ambilkan di mobil ya, sebentar.” Pak Sukirman pun bergegas menuju mobilnya.

“Nah ini dia, buat Mbak Gendhis, Gula Jawa, cukup untuk membuat kolak sampai lebaran nanti,” kami semua tertawa, diserahkannya sekantung plastik warna hitam berisi Gula Jawa, Pak Sukirman memang salah satu juragan Gula Jawa terbesar di kota ini.

***

Belum lama berselang, ponselku berbunyi, sebuah pesan singkat dari nomor asing.

Terima Kasih kolak pisangnya, manis. Semanis Gendhis.

Pipiku memanas, aku tahu siapa pengirimnya, meski belum sempat kucatat namanya saat bertukar nomor tadi.

***

_484 kata_

‘Ne..

[Berani Cerita #20] I Will.

Tags

, , ,

Sengaja kubiarkan jendela terbuka, agar bisa menikmati sejuknya angin malam dan kerlip bintang nun jauh di sana. Berharap ada bintang jatuh untukku mengirim harap. Konyol. Aku tahu harapan tidak akan terkabul hanya dengan menyampaikannya pada bintang jatuh. Tapi, rindu yang tak sanggup lagi kubendung ingin kutumpahkan. Setidaknya kutitipkan pada bintang jatuh untuk disampaikan pada Lintang. Barangkali, dia ada di antara mereka.

Aku beranjak menuju rak buku besar di salah satu sisi kamarku. Selain buku-buku, aku juga mengkoleksi beberapa kaset dan banyak di antaranya adalah kaset-kaset The Beatles. Kuambil satu kaset, White Album The Beatles, sengaja kuputar dari lagu I Will. Bukan aku tidak suka lagu-lagu yang lain, aku hanya ingin menikmati setiap detik kerinduanku pada Lintang.

Who knows how long I’ve loved you
You know I love you still
Will I wait a lonely lifetime
If you want me to, I will.

“Wulan.”

“Lintang.”

Sejenak kami terkejut saat aku dan lintang menyebutkan nama masing-masing saat dikenalkan oleh Marla, sahabat dekatku.

“Nah kan, nama kalian jodoh dan semoga kalian benar-benar berjodoh.” spontan aku mencubit Marla, yang menggoda kami. Aku masih belum terpikirkan sama sekali akan seperti apa antara aku dan Lintang.

Saat itu aku diajak Marla dan Doni kekasihnya, menikmati malam minggu di Kafe Everlasting, kafe tempat para fans The Beatles. Kami bertiga memang maniak The Beatles, hampir semua pengunjung kafe rata-rata kami kenal. Band kafe tersebut hanya membawakan lagu-lagu The Beatles dari berbagai album, dan Lintang adalah bassis dari band kafe tersebut.

Sejak perkenalan itu kami semakin dekat, saling bertukar kaset dari masing-masing koleksi kami. Lintang juga pernah memberiku kado ulang tahun berupa poster besar The Beatles yang sudah di bingkai kayu ukuran 100×50 cm.

Tidak berapa lama kedekatan kami, sampai akhirnya lintang melamarku di Kafe Everlasting, di depan semua pengunjung. Awalnya aku heran, kok tumben Lintang mau nyanyi, bukankah dia bassisnya. Tak berapa lama pertanyaanku terjawa sudah. Lintang menyanyikan lagu I Will, lagu favorite kami berdua dan di tengah lagu dia berkata “Wulan, maukah kamu menemaniku menghias langit malam sama-sama, melewati kehidupan sama-sama? Menikahlah denganku, jadilah ibu bagi anak-anakku. Maukah?” sekejap kafe hening, semua orang menatapku dan menahan nafas ikut menunggu jawabanku. Aku  menjawab ringan dan tanpa pikir panjang lagi “kenapa tidak?!” serentak semua orang bertepuk tangan dan mereka menyalamiku satu-satu.

“Mama” tiba-tiba lamunanku dikagetkan sebuah suara panggilan. Buru-buru aku mendatangi tempat tidur. Langit, lelaki kecilku terbangun dari tidurnya. Ternyata dia hanya mengigau saja, kulihat dia sudah tertidur lagi. Langit lah alasan kuat aku tetap hidup, tidak pernah terpikirkan olehku untuk mengakhiri hidup dan meninggalkannya. Bagiku, bunuh diri bukan solusi. Masih banyak yang harus aku lakukan, membesarkan Langit dan mengenalkan dia tentang ayahnya melalui cerita-ceritaku. Aku ingin Langit mengenal dan bangga pada Lintang, yang meninggalkan kami saat Langit lima bulan di kandunganku.

And when at last I find you

Your song will fill the air
Sing it loud so I can hear you
Make it easy to be near you
For the things you do endear you to me
Oh, you know, I will
I will.

497 kata

‘Ne

Prompt #21: [Bukan] Aku Yang Gila!

Tags

, ,

“Aku suka aroma tubuhmu, Mas..” itulah yang dikatakannya padaku tiap kali aku pulang dari kantor, lebih tepatnya perusahaan miliknya. Parfum yang kusemprotkan pagi hari memang aromanya tidak hilang seluruhnya hingga aku pulang di sore hari atau malam hari sekalipun. Bukan parfum pilihanku, dia yang memilihnya.

“Seperti rasa sukaku pada tanah basah saat tersentuh hujan pertama kali, menggairahkan,” bisiknya. Aku diam saja, terlalu lelah untuk membantah apapun yang dikatakannya. Aku memilih pasrah. Pun, saat dia mengulang ritual selanjutnya padaku, melepaskan kancing bajuku satu demi satu dan menciumi tubuhku. Aku menggeliat, gerah.

“Mandilah sayang, aku sudah isi bathup dengan air hangat. Bajumu juga sudah kusiapkan.” aku berpaling ke arah yang ditunjuknya, baju dan celana yang lagi-lagi bukan seleraku. Aku mendengus pelan.

“Jangan lama-lama mandinya. Setelah mandi segeralah ke meja makan, aku akan siapkan dulu makanan untukmu ya,” dia berkata dengan senyum sumringah. Membuatku jengah.

Ah, lebih baik aku membayangkan Laras, kekasihku yang sangat aku cintai. Entah dengan perasaannya, benarkah dia juga menyayangiku seperti aku menyayanginya. Deminya aku rela melakukan apapun juga. Perempuan yang selalu aku percaya kata-katanya, bahwa apapun yang dia lakukan adalah demi masa depan kami berdua.

duhai sayangku betapaku menginginkanmu sampai mati..

parutkan luka yang teramat dalam oh, kasih..

Sial! dia memutar piringan hitam itu lagi. Samar-samar dari dalam kamar mandi aku mendengar lagu yang hampir setiap hari di putarnya. Entahlah, aku tidak pernah bisa menyukai lagu itu, mendengarnya selalu membuatku nyeri.

“Mas Surya, sudah belum mandinya? kok lama? cepetan dong mas, aku sudah lapar nih.” Rengekannya justru membuatku semakin ingin berlama-lama di kamar mandi. Mas? geli juga aku mendengar dia memanggilku begitu.

“Iya sayang.” Rasanya aku seperti boneka marionette yang bisa dikendalikan semaunya. Aku tak berdaya. Ah, bukan, aku memang tak mau melawan. Aku harus menurutinya, demi impianku semata, demi seorang Laras yang kucinta.

“Lihat Sayang, aku masak terong ebi bumbu balado kesukaanmu.” Segera diambilnya nasi untukku dan sayur terong yang BUKAN kesukaanku itu, saat aku mendatanginya di meja makan. Aku pura-pura merasa senang dan memberinya kecupan di kening. Dia tersenyum sumringah, ada sesuatu yang tersirat jelas dari matanya. Aku paham betul maknanya, dia ingin bercinta. Tak lupa diiringi lagu kesukaannya.

~semua hangatnya oh, dirimu, berikan aku arti hidup

suguhkan sgala raga dan jiwamu untukku~

***

Aku terhenyak saat pertama kali melihatnya, “Mas Surya?!” begitu saja panggilan itu meluncur dari mulutku. Aku buru-buru minta maaf saat Laras mengenalkannya sebagai kekasihnya. Namanya Reno, mata teduhnya membuatku ingin berlabuh. Sama seperti mata Mas Surya. Aku harus memilikinya!

***

Barangkali, aku adalah orang yang dilaknat Tuhan. Aku, yang memilih cara gila demi harta. Aku tidak bisa hidup nestapa. Aku tidak dilahirkan untuk merasakannya. Silahkan sebut aku tak punya hati, membuat kesepakatan dengan seorang perempuan kesepian yang ditinggal mati suami. Awalnya, aku cemburu melihat Reno yang digandeng mesra Tante Mirna. Seharusnya, di lengannya itu akulah yang menggelayut manja. Tapi, seketika rasa gundah itu sirna saat aku membuka amplop uang muka, selembar cek tertulis angka seratus juta.

Entah siapa diantara kami bertiga yang gila. Bukankah orang gila tidak pernah merasa bahwa dirinya gila?

~END~

 

‘Ne..

Prompt #20: Dua Lelaki, Cinta, dan Luka.

Setelah jeda yang begitu lama, lelaki itu menghabiskan isi gelasnya dengan sekali tegukan. Sudah bergelas-gelas bir ia habiskan. Memang tidak membuatnya mabuk, tapi tatapan matanya kosong, sekosong gelasnya kini. Wajahnya seperti kehilangan aura ketampanannya, kemejanya yang selalu licin kini kusut masai. Aku hanya terdiam memberinya kesempatan menikmati kedukaannya. Belum satu gelaspun aku minum.

“Ini bukan akhir dari segalanya,” kataku sembari meliriknya,  mencoba melihat reaksinya dan nyeri rasa hatiku melihatnya demikian terluka. Bisa kurasakan jiwanya yang berduka, tangisan yang tak kasat mata. Seandainya aku boleh memohon pada Tuhan,  ingin sekali aku berikan seluruh jiwa dan ragaku untuknya, betapa aku lebih terluka melihatnya merana kehilangan cintanya untuk selama-lamanya.

Kulihat di luar malam semakin gulita, dan entah kenapa tak satupun bintang terlihat di langit. Pekat. Barangkali sepekat raut wajahku dan Ia. Ia yang kini hanya memandangi gelasnya sembari memainkannya dengan tangan. Masih tetap kosong. Beberapa pasang mata di Kafe ini hanya memandang kami sekilas.

“Kenapa cinta harus sedemikian menyakitkan?!” katanya getir tanpa berpaling dari gelasnya. Aku tak mampu menjawab.

“Kenapa mencintaimu juga begini menyakitkan?” bisikku dalam hati.

“Kamu masih beruntung pernah memiliki seseorang meski akhirnya kehilangan,” Ia menoleh padaku. “Karena ada yang kehilangan tanpa pernah memiliki kesempatan untuk mengungkapkannya.” Aku tatap matanya, bisa jadi Ia akan tahu apa yang kurasakan selama ini. Aku tak peduli. Ia berpaling kembali pada gelasnya yang kosong.

“Seperti gelas ini, setiap hati juga perlu sesekali menuangkan apa yang menyesakkan.”

“Kamu benar, dan aku juga perlu menumpahkan yang selama ini menyesakkan hatiku. Aku mencintaimu,” kataku pelan, tak terlihat raut keterkejutan dari wajahnya.

“Aku tahu kok, thanks Bro, karena sudah mengungkapkannya dan aku yakin kamu tidak lagi butuh jawabanku, kan?” aku lega mendengar jawabannya tanpa menghakimi ataupun merasa jijik padaku. Itu sudah cukup bagiku. Meski, tetap saja sakit.

Hening sesaat dan kami saling bertatapan kemudian kami tertawa bersamaan. Ia menertawakan dirinya yang merana kehilangan perempuan yang dicintainya, dan aku menertawakan diriku yang mencintainya. Ironis.

***

‘Ne..