Sekali lagi, kulingkari sebuah tanggal dengan spidol warna merah pada kalender di dinding. Sudah 29 hari berlalu tanpa kabar berita darinya. Aku masih bertahan untuk percaya bahwa suatu saat dia akan kembali pulang padaku. Aku percaya, meski semua orang meragukannya. Berkata ini itu tentang dia yang tidak akan kembali lagi, aku tidak peduli.
Setiap hari kutonton berita di televisi. Berharap, barangkali ada kabar tentang Dia atapun tentang teman-temannya yang pergi bersamanya. Aku hanya bisa berdoa sepanjang waktu agar Dia dan teman-teman seperjuangannya selalu dalam lindunganNya.
***
Malam pertama, seharusnya menjadi malam yang paling membahagiakan bagi pasangan pengantin di manapun berada. Tak terkecuali aku dan dia. Masih dalam hitungan jam dia meminangku di depan saksi dan penghulu, tapi aku sudah harus menjalani ujian pertamaku sebagai seorang istri.
“Maafkan aku atas permintaanku yang mungkin terlalu berat bagimu, apalagi di saat kita baru saja menikah” kata-katanya yang meski diucapkan dengan lembut, tetap saja membuat nyeri di dadaku.
“Apakah kau harus pergi?” tanyaku sembari menatapnya dengan penuh permohonan, berharap dia berubah pikiran.
“Aku merasa terpanggil, semoga kau mengerti sayangku,” kurasakan kecupan lembutnya di keningku.
“Jadi kapan kau berangkat?” suaraku sudah mulai bergetar, sekuat hati aku menahan butiran bening di ujung mata agar tak terjatuh, kusandarkan kepalaku di dadanya, mencari kekuatan.
“Kurang lebih seminggu lagi aku berangkat.” Ya Tuhan, baru beberapa jam yang lalu aku dan dia bersatu dalam ikatan yang halal dalam janji atas namaMu, dan kini Engkau menguji keikhlasanku.
***
Hari ke-30, kembali kulingkari kalender di dinding dengan spidol warna merah. Biarlah, meski bapak ibu dan bahkan mertuaku sudah menyerah, tapi aku tetap percaya suamiku akan kembali pulang padaku. Meski aku selalu teringat dengan kata-katanya saat berpamitan dulu, “Jika kamu ikhlaskan aku pergi sekarang, maka ikhlaskan pula jika nanti aku pulang tinggal nama.” Tapi, aku tetap percaya dia akan kembali.
Hari masih pagi, sebelum bersiap berangkat mengajar di Madrasah kusempatkan menonton berita sejenak. Tepat saat itu salah satu stasiun televisi sedang memberitakan kudeta di salah satu negara di Timur Tengah. Kutatap layar 21 inchi itu, siapa tahu ada dia tertangkap kamera. Korban yang berjatuhan semakin bertambah, termasuk para sukarelawan. Kupanjatkan doa kepadaNya, memohon dengan sepenuh jiwa semoga suamiku masih dalam perlindunganNya. Jikapun nanti pulang tinggal nama semoga aku ikhlas menerimanya.
“Tok! Tok! Tok! Assalamu’alaikum” siapa gerangan sepagi ini sudah hendak bertamu, pikirku. Belum sempat aku beranjak dari tempat dudukku di depan televisi, bapak sudah lebih dulu membukakan pintu.
“Istriku, aku pulang” mataku masih saja menatap layar televisi saat sayup kudengar suara suamiku. Mungkin ini halusinasiku belaka, begitu pikirku sampai akhirnya suara itu terdengar lagi. Saat kutolehkan kepalaku, seketika aku terlonjak dan ternganga. Aku masih tak mampu berkata-kata, hanya tangisku yang tak mampu lagi kubendung. Aku memeluknya erat, sampai akhirnya aku tersadar saat dia meringis kesakitan, kaki kirinya kini tidak ada lagi, dan dia hanya bertopang pada penopang kayu. Lukanya pun masih baru dan masih dibebat perban.
Tidak masalah dia pulang tanpa kaki. Bagiku, adalah sebuah keajaiban dia bisa kembali lagi.
~488 Kata~
‘Ne..
-menulis spontan jadi sepertinya masih kurang di sana sini